NU ONLINE (05/11/2007)
Dari
sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini
didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih
langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan
Nihayah(2001:204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan
pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan
Khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh
MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat
disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi
dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.
Keabsahan pemerintahan
Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan
mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari
terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dariimamah
(pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan
kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan
dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad (1988:147), menyatakan, “Dengan demikian
tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden)
karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.
Dalam
konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di
atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan
lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan
Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa
mengingkarinya.
Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan
dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan
memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah
tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan
mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial,
politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman
pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat
luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam
al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:148)
Terlebih,
mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini:
Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i.
Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan
yang menjaga kesejahteraan dan kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan
bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di
berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang
ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya
masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman
klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India,
Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.
Kedua,
persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian
dari masalah aqidah, melainkan termasuk persoalan siyayah
syar’iyyahatau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat
dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan
masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan
mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.
Ketiga,
membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu
sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia,
sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian
Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam
akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya
masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para
pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada
institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.
Keempat,
masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam
secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi
pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak
melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam
secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan
banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena
takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan
mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru
merugikan umat Islam sendiri.
Kelima, sulitnya mencari tolok
ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu
langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu
memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan
dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh
imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i,
Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak
sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol,
dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman
tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka
sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh
wilayah Indonesia.
Keenam, jika memang disepakati ide
formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan.
Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran
sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil,
talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah membunuh
ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah
sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah,
atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan
semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya
warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda
aqidah tersebut.
Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa
cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi
tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga
kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari
elemen bangsa yang lain.
Dengan mempertimbangkan pendapat dari
Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan
yang ada tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos
sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh
pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama’ah
menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena
itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada
mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit
kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah
bentuk kebaikan yang besar.
Jadi, sistem pemerintahan di dalam
pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat.
Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan
syar’i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang
mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam
al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, agar kehidupan
agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun dari
luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:147).
Senada dengan Imam
al-Ghazali di atas, Al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari
pemerintahan adalah menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat
ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan
yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum
mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi
dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan
intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat
misalnya dalam Al-Baidlawi,Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar,
1998: 348).
KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan sikap NU pada saat
khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28
Juli 2006: ”NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui
jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan
realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa
syari’at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau
melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai
syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan
institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk
terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat”.
Dalam
kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonversi sistem
pemerintahan, tidak memiliki akar syara’, malahan bertentangan dengan
serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai
institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi. Bagi
NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam
Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan
0 comments:
Post a Comment