Wisata Seksual ala Wahabi


..praktek ini rujukannya bukan pada nash tapi praktek budaya jahiliyah Arab pra Islam…

Penggerebekan dan penangkapan Polisi Bogor terhadap belasan turis-turis Arab Saudi yang sedang melakukan nikah misyar di Cisarua Puncak menghiasi berita di harian-harian nasional beberapa waktu lalu. Praktek ini sebenarnya bukanlah hal yang baru terjadi tapi sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan mencapai puncaknya pada saat krisis moneter menerpa Indonesia. Puncak kedatangan turis-turis Arab itu biasanya terjadi pada masa musim haji yang menjadi masa liburan panjang di negri mereka.

Nikah misyar (المسيار‎) adalah praktek pernikahan yang meniadakan kewajiban bagi suami untuk memberi nafkah. Praktek ini lazim dilakukan di Arab Saudi melalui fatwa dari Sheikh Abdul ‘Azeez ibn Abdullaah ibn Baaz . Walaupun sekilas hampir sama tapi ada perbedaan mendasar antara nikah misyar dan nikah mut’ah. Dalam nikah mut’ah tetap ada kewajiban nafkah & dibatasi waktu, sementara nikah misyar selain meniadakan kewajiban nafkah tapi menghalalkan hubungan suami istri juga tidak dibatasi waktu tertentu seperti nikah mut’ah.

Kalangan Ikhwanul Muslimin juga melegalkan pernikahan model ini yang tercermin dari fatwa Syaikh Dr Yusuf Qardhawi. Di Indonesia kedua kelompok radikal ini juga memiliki pengikut yang cukup besar yang diwakili oleh Jama’ah Salafy/Wahabi yang mengikuti paham bin Baz dan Jama’ah Tarbiyah yang secara politik menjelma menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengidolakan Yusuf Qardhawi sehingga praktek ini ditengarai juga marak dilakukan oleh pengikut kelompok ini di Indonesia utamanya di kalangan mahasiswa/i nya.

Kepada publik dan pengikutnya kelompok ini selalu mengklaim merujuk ajarannya secara langsung kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tapi dalam kasus ini kita bisa baca semua ayat dalam Al Qur’an maupun kitab-kitab hadis dimana jangankan yang shahih bahkan yang dha’if dan maudhu pun praktek pernikahan macam ini tidak akan ditemukan. Juga kalau dirunut sampai generasi sahabat, para tabi’in dst praktek semacam ini juga sama sekali tidak pernah terjadi. Di kitab-kitab fiqh klasik yang utama pun praktek ini tidak pernah dikenal.

Ini karena praktek ini rujukannya bukan pada nash tapi praktek budaya jahiliyah Arab pra Islam. Pada masa jahiliyah posisi perempuan dianggap sebagai barang dimana seorang istri bisa ditukarkan, dipinjamkan bahkan diwariskan, dan di masa perang mereka dianggap bagian dari pampasan perang. Para gadis/janda pun tidak punya hak sama sekali untuk memilih pasangannya. Karena istri maupun anak gadis dianggap sebagai hak milik ayah atau suaminya. Dan parktek nikah misyar yang melandasi pernikahan hanya atas dasar mencari kesenangan seksual mendapatkan landasannya di masa ini.

Ketika ajaran Islam datang perempuan kembali memperoleh hak-haknya. Semua praktek pernikahan ala jahiliyah dihapuskan. Pernikahan dianggap sebagai bentuk perjanjian yang kuat (An Nisa’: 21) atas nama Allah sehingga diperlukan kerelaan dan persetujuan kedua belah pihak dari steril dari tekanan dari pihak manapun termasuk orang tua/wali nasab. Karena itu sebelum menikah kedua pasangan wajib ditanyai persetujuannya dimana persetujuan dari laki-laki atau janda harus dengan lisan sementara gadis diamnya dianggap setuju. Dan bila pasangan yang hendak menikah mendapat tentangan dari wali nasabnya, maka negara bisa mengambil-alih menjadi wali karena bila duapasangan saling mencinta ingin menikah maka siapapun tidak boleh menentangnya kecuali atas dasar yang syar’i.

Dan sebagai bentuk perjanjian yang kuat atas nama Allah maka pernikahan dianggap sebagai bentuk penunaian hak dan kewajiban suami istri sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Dan salah satu bentuk kewajiban itu adalah kewajiban memberi nafkah sebagaimana yang difirmankan Allah di surah Al Baqarah 233.

Jadi dari mana dasar Qardhawi maupun bin Baz dan ulama-ulama radikal lainnya mengambil dasar untuk menghapus ketentuan Allah ini bahkan merendahkan makna sebuah pernikahan hanya sekedar sebagai sarana melampiaskan nafsu syahwat hewani saja.

Dan perrilaku turis-turis Arab yang membanjiri Puncak, Cianjur, Sukabumi dll untuk melakukan wisata seks memperlihatkan bahwa praktek nikah misyar pada dasarnya hanya untuk melegalkan praktek prostitusi dan menghindarkan pelakunya dari hukum hudud.

Dan bentuk pernikahan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah dianggap bukanlah pernikahan. Apalagi pernikahan yang hanya bertujuan melampiaskan nafsu syahwat belaka. Jadi praktek nikah misyar pada dasarnya bisa digolongkan sebagai bentuk praktek perzinahan apalagi pelaku nikah misyar ini kebanyakan melakukan untuk melakukan hubungan sex bebas atau prostitusi.

Inilah yang mengherankan dari kaum harokah , di satu sisi mereka berteriak untuk menegakkan syari’at Islam termasuk memberantas perzinahan dan praktek seks bebas dan prostitusi. Tapi di sisi lain berakrobat dengan dalil dalil agama untuk melegalkannya. Jadi benarkah mereka pengikut kaum salaf sholeh atau justru pengikut Dajjal yang dalam hadis-hadis dikatakan akan muncul di Najd..!??

–Fatwa Ulama Wahabi–

Berikut FATWA SYEKH BIN BAZ “NIKAH DENGAN NIAT TALAK” yang dikutip dari buku “Majmuk Fatawa”-nya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah, Jilid 4 hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990.

-NIKAH DENGAN NIAT (AKAN) DI TALAQ-

Pertanyaan: Saya mendengar bahwa anda berfatwa kepada salah seorang polisi bahwa diperbolehkan nikah di negeri rantau (negeri tempat merantau), dimana dia bermaksud untuk mentalak istrinya setelah masa tertentu bila habis masa tugasnya. Apa perbedaan nikah semacam ini dengan nikah mut’ah? Dan bagaimana kalau si wanita melahirkan anak? Apakah anak yang dilahirkan dibiarkan bersama ibunya yang sudah ditalak di negara itu? Saya mohon penjelasanya.

Jawab: benar… Telah keluar fatwa dari “Lajnah Daimah”, di mana saya adalah ketuanya, bahwa dibenarkan nikah dengan niat (akan) talak sebagai urusan hati antara hamba dan Tuhannya. Jika seseorang menikah di negara lain (di rantau) dan niat bahwa kapan saja selesai dari masa belajar atau tugas kerja, atau lainnya, maka hal itu dibenarkan menurut jumhur para ulama. Dan niat talak semacam ini adalah urusan antara dia dan Tuhannya, dan bukan merupakan syarat dari sahnya nikah.

Dan perbedaan antara nikah ini dan nikah mut’ah adalah dalam nikah mut’ah disyaratkan masa tertentu, seperti satu bulan, dua bulan, dan semisalnya. Jika masa tersebut habis, nikah tersebut gugur dengan sendirinya. Inilah nikah mut’ah yang batil itu. Tetapi jika seseorang menikah, di mana dalam hatinya berniat untuk mentalak istrinya bila tugasnya berakhir di negara lain, maka hal ini tidak merusak akad nikah. Niat itu bisa berubah-ubah, tidak pasti, dan bukan merupakan syarat sahnya nikah. Niat semacam ini hanyalah urusan dia dan Tuhannya. Dan cara ini merupakan salah satu sebab terhindarnya dia dari perbuatan zina dan kemungkaran. Inilah pendapat para pakar (ahl al-ilm), yang dikutip oleh penulis Al-Mughni Muwaffaquddin bin Qudamah rahimahullah.

–Ulasan–

Menggarisbawahi pernyataan bin baz “Jumhur Ulama”, padahal pendapat itu adalah hanya sebagian kecil ulama hambali aja. Jadi kebolehan nikah misyar itu dasarnya bukan karena menikah dengan niat cerai dari pendapat kitab al Mughni tetapi karena berdasar suatu hadits : “Umul mukminin saudah binti zam’ah dalam sebuah riwayat yang shahih memberikan giliran harinya kepada madunya ,Aisyah RA . Ketika ia sudah lanjut usia, sehingga “Rasulullah SAW pun memberikan bagian dua hari untuk Aisah RA ; giliran sendiri dan giliran saudah .”260 [Hadits Shahih,ditakhrij oleh Al Bukhari (5212) dan Muslim(1463]. Hadits inilah yang dijadikan dasar kebolehan menggugurkan kewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal bagi sang laki2 menurut ulama yang membolehkan nikah misyar.

Sedangkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) & Majlis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan bahwa kawin kontrak dalam hukum Islam haram dilakukan karena diindikasikan sebagai pelacuran atau perdagangan manusia terselubung yang mencari pembenaran.

“Itu kan kawin berdasarkan iming-iming uang, itu sama saja dengan pelacuran,” kata pengurus Syuriah PBNU, Kyai Ma`ruf Amin di sela Halaqah Ulama, Upaya Pencegahan dan Perlindungan Korban Trafficking Bagi Masyarakat di yang digelar di Jakarta, Senin (14/8/2006).

Dalam kajian PBNU, katanya, kawin kontrak dikategorikan sebagai bagian dari perdagangan manusia atau pelacuran terselubung dan istilah kawin kontrak digunakan hanya bertujuan agar tidak dianggap asusila.

Source

0 comments:

Post a Comment

Tukar Link Otomatis

Sangpecinta: www.facebook.com/anti.wahabi ::: Santun Menyejukkan:::

video

no video list

Labels

Posting Terbaru

Menu Blog

Arsip Blog

Top Comments